Pengurus PERSADA

ESENSI MUDIK

Esensi Mudik

Oleh: Diyan Faturahman

Istilah mudik bukan satu hal yang asing bagi masyarakat di Indonesia, maupun WNI yang ada di mancanegara. Mudik atau pulang ke kampung halaman menjadi tradisi yang juga identik dengan suasana Hari Raya Idul Fitri. Entah dimulai sejak kapan, yang jelas fenomena ini mampu memberikan pengaruh bagi banyak sektor. Baik perekonomian, sosial hingga budaya. Banyak pihak yang diuntungkan dengan adanya tradisi ini, bahkan non muslim sekalipun. Betapa tidak, mudik bukan soal pulang kampung saja. Melainkan ada beberapa hal yang meliputi, mulai dari oleh-oleh berupa makanan dan pakaian hingga moda transportasi.

Dalam peribahasa disebutkan, “setinggi-tinggi bangau terbang, surutnya ke kubangan”. Sejauh mana seseorang pergi meninggalkan kampung halaman, pasti ada kerinduan yang menuntun ia untuk pulang. Baik rindu dengan orang tua, keluarga, sanak saudara, guru, maupun rindu dengan suasana masa lalu. Bagi mereka yang kampung halamnnya telah tergusur karena proyek pembangunan, pasti merasakan sesuatu yang hilang. Satu hal yang tidak boleh dibawa kembali ketika pulang ke kampung halaman ialah sifat sombong. Kita coba uraikan satu per satu esensi dari mudik ini.

Pertama, mudik menjadi salah satu tradisi yang perlu dilestarikan, mungkin kalau ada yang mampu bisa diusulkan untuk dicatatakan pada warisan dunia, UNESCO. Namun bukan tanpa syarat, mudik adakalanya menjadi beban bagi mereka yang di tanah rantau kurang mendapatkan peruntungan. Bekal perjalanan dan sesuatu untuk dibawa ke kampung halaman kurang mencukupi. Di sisi lain, justru untuk menjadikan citra dirinya tinggi di tengah masyarakat di kampung halaman, tidak jarang yang ketika mudik menampilkan seakan-akan dirinya telah berhasil di negeri orang. Membawa kendaraan yang paling bagus, yang tidak ada diada-adakan, perhiasan sengaja di tampil-tampilkan, semua itu demi mengharap sanjungan dan rasa hormat dari orang lain.

Oleh karenanya, syarat yang harus dimiliki setiap pemudik, khususnya umat Islam, ialah memperbaiki niat. Mudik bukan untuk pamer kehormatan, bukan untuk unjuk strata sosial, juga bukan karena gengsi. Adapun bagi mahasiswa yang memang bukan tujuan ekonomi ketika merantau, maka ketika kembali ke kampung halaman juga tidak layak sombong, belajar di perguruan tinggi bukan untuk gagah-gagahan. Kata seorang teman pernah menasehati, “percuma belajar tinggi-tinggi, jika masih suka menganggap rendah orang lain”. Sombong dalam Bahasa Arab biasa disebut dengan Takabur, seakar kata dengan lafadz Kabir yakni besar. Menganggap dirinya lebih besar dari orang lain, enggan memberi hormat pada orang lain, lupa jika dirinya ialah manusia belaka, tidak lain juga makhluk Tuhan yang pasti memiliki aib dan cela.

Sombong menjadi salah satu dosa pertama yang dilakukan oleh makhluk Tuhan. Bukankah kisah pembangkangan iblis (huruf i sengaja ditulis kecil) kepada Tuhan, karena ia menganggap dirinya lebih mulia dibandingkan Nabi Adam a.s., hanya karena asal penciptaan yang berbeda. Dinilainya api lebih mulia dari tanah, padahal tanah cenderung memiliki karakter positif dibandingkan api. Karakter tanah ialah lembut, agung, tenang. Darinya pohon bertumbuh dan berkembang, bisa untuk berteduh, adakalanya menghasilkan buah-buahan. Lain halnya dengan api yang justru berkarakter panas, membakar, gegabah, singkatnya negatif. Dalam keadaan tertentu kita butuh panas, butuh api untuk memasak, merebus, mengeringkan pakaian, dan sebagainya. Bukan berarti kita membutuhkan iblis, untuk memenuhi keperluan hidup.

Kedua, mudik menjadi sarana untuk kembali mempererat dan mengokohkan tali silaturahmi. Kalaupun masih memiliki orangtua, maka mudik di samping melepas rindu, sekaligus wujud bakti pada orangtua. Dalam tradisi mudik, kembali mempertemukan anak yang sekian lama berpisah dari orangtuanya, saudara yang sekian lama tidak berjumpa dengan saudara yang lain, murid yang sekian lama tidak mencium tangan gurunya, dan sebagainya. Terlebih lagi, mudik karena hari raya idul fitri yang biasanya disertai dengan maaf-maafan, ini menjadi satu hal yang lebih istimewa. Setiap orang mengaku salah, suami kepada istri, istri kepada suami, anak kepada orangtua, murid kepada guru, sesama saudara, kakak beradik, tetangga, kerabat dekat maupun jauh, semua bertemu, biasanya kepada keluarga yang paling tua. Semua dalam nuansa saling memaafkan.

Apalagi di sebagian daerah yang identik dengan simbol-simbol keagamaan. Dalam nuansa tersebut, misalnya dilengkapi dengan hidangan berupa ketupat dan opor ayam. Ketupat atau kupat (Jawa) dimaknai dengan ngaku lepat (mengaku salah). Opor ayam yang bahan baku pembuatnya antara lain ialah santan atau santen (Jawa) berarti nyuwun ngapunten (meminta maaf). Sehingga ada pantun berbunyi ”kupat disiram santen, menawi lepat nyuwun ngapunten”. Manakala di Ramadhan telah dididik untuk memilik pribadi takwa, hubungan dengan Tuhan semakin dekat, ibadah dilakukan dengan giat dan semangat. Maka usai Ramadhan, dilengkapi dengan memperbaiki hubungan dengan sesama. Mudik mampu mendekatkan yang jauh.

Ketiga, jika kembali ke kampung halaman, tanah lahir, tumpah darah pun membutuhkan bekal untuk dibawa pulang. Memastikan bahan bakar penuh dan cukup, memastikan bekal perjalanan, bahkan ada juga yang menyiapkan bingkisan lebaran, dan bermacam-macam persiapan. Sampai-sampai penghabisan Ramadhan yang mestinya lebih maksimal lagi ibadahnya, justru lebih semangat menyiapkan mudiknya. Mestinya ini diambil pelajaran sebagai makhluk yang juga pasti akan kembali ke kampung halaman yang paling sejati, paling hakiki yakni kampung akhirat. Dengan tempat persinggahan sementara yakni alam barzakh, alam kubur.

Mudik dalam syariat mungkin bisa diilustrasikan dengan taubat. Kembali kepada Tuhan, pulang ke negeri kekal nan abadi, atau kembali pada jalan yang lurus. Senantiasa meminta ampun setiap kali berbuat khilaf dan dosa, berupaya dengan sekuat tenaga tidak mengulangi kesalahan dan dosa yang sama, memperbaiki dan berbuat kebaikan lebih banyak sehingga dapat menutupi atau menghapus kesalahan yang dibuatnya. Berusaha mempertahankan amal kebaikan yang dilakukan dengan tidak mengganggu atau merugikan atau dzalim kepada orang lain, sehingga disebut sebagai golongan yang bangkrut.

Suatu ketika Rasulullah Saw. bertanya kepada para sahabat. Tahukah kalian orang yang bangkrut? Lantas para sahabat menjawab, orang yang bengkrut di antara kami ialah mereka yang tidak memiliki dirham dan barang (kesenangan, kehabisan modal). Kemudian Rasul bersabda, sesungguhnya orang yang bangkrut di antara umatku ialah mereka yang kelak pada hari Kiamat datang kepada Tuhannya dengan membawa pahala salatnya, puasanya, zakatnya (sedekahnya), pada saat yang sama ia juga membawa dosa pada sesamanya lewat jalan mencaci, memaki, menghasut, menuduh orang baik-baik, memakan harta orang lain dengan jalan yang tidak halal, menyakitinya, menganiaya, hingga menumpahkan darahnya ( قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا  ) . Lalu diberikanlah pada yang ini sebagian pahala kebaikannya, juga pada yang lain. Sewaktu kebaikannya sudah habis padahal dosa belum terselesaikan, maka diambillah dosa-dosa mereka itu semua dan ditimpakan kepada dirinya. Kemudian dia dilemparkan ke dalam neraka. Na’udzu billaahi min dzalik.

Taubat yang paling ringan ialah dengan membaca istighfar, astaghfirullah atau astaghfirullah al-’adhim atau astaghfirullah al-’adhim wa atubu ilayhi atau Rabbighfir lii watub ‘alayya, innaka anta tawwaabur rahiim, atau sayyidul istighfar: Allahumma anta rabbii laa ilaaha illaa anta khalaqtanii wa anaa ‘abduka wa anaa ‘alaa ‘ahdika wa wa’dika. Mastatha’tu a’uudzu bika min syarri maa shana’tu abuu u laka bini’ matika ‘alayya wa abuu-u bidzanbii faghfir lii fa innahu laa yagfirudz dzunuuba illa anta, atau lafadz dan kalimat lain yang menunjukkan permintaan ampunan kepada Allah. Bahkan dalam hadis disebutkan bahwa Rasulullah yang dijamin surga dan berpribadi maksum-pun masih bertaubat dalam sehari antara 70 atau 100 kali.

Kita tegaskan kembali, jika kembali ke kampung halaman di dunia yang hanya sementara saja butuh bekal, apatah lagi kembali ke kampung akhirat yang kekal nan abadi, bekal apa yang layak dan pantas untuk disiapkan? Insyaallah setiap kita memiliki jawabannya masing-masing. Semoga kita mampu dan tergolong sebagai hamba Allah yang layak untuk kembali dalam keadaan sebaik-baiknya, dalam waktu sebaik-baiknya, juga ke tempat yang sebaik-baiknya. Aamiin. Taqabbalallahu minna wa minkum. (DF)