Tiga Lakon Spiritual Jenderal Soedirman

Oleh: Diyan Faturahman

 

Jenderal Soedirman, menurut keterangan Wikipedia lahir dan wafat pada bulan Januari, lahir di Purbalingga pada 24 Januari 1916, kemudian wafat pada 29 Januari 1950, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Selain seorang panglima besar, beliau adalah kader Muhammadiyah, guru dan pahlawan nasional.

Adapun salah satu potret menarik dari diri belliau ialah mengenai keistikomahannya dalam menetapi beberapa sunnah Nabi saw, atau dalam khutbah ini kita sebut sebagai lakon spiritual Jenderal Soedirman.

Jenderal Soedirman lahir, tumbuh dan mengawali usia muda di timur kaki Gunung Slamet, tepatnya di Desa Bantarbarang, Rembang, Purbalingga. Kemudian aktif dalam kegiatan Muhammadiyah, baik sebagai guru maupun pandu Hizbul Wathan. Namanya kian harum dan dikenal publik setelah bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) di wilayah Banyumas yang kemudian bertransformasi menjadi Badan Keamanan Rakyat (BKR). Setelah itu berubah lagi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), di mana Jenderal Soedirman diamanati sebagai komandan resimen.

Salah satu potret menarik dari diri nenek moyang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ini ialah mengenai keistikomahannya dalam menetapi beberapa sunnah Nabi saw, atau dalam tulisan ini kita sebut sebagai lakon spiritual Jenderal Soedirman.

Ketua Dewan Syuro Takmir Masjid Jogokariyan, M. Jazir mengisahkan, sebagaimana diarsipkan juga oleh perpustakaan nasional dengan judul “Inilah 3 Jimat Jendral Sudirman yang Jarang Diketahui Masyarakat”, bahwa suatu saat salah satu pasukan Jenderal Soedirman memberanikan diri bertanya untuk melepas rasa penasaran, sebab kegagalan demi kegagalan pihak Belanda dan sekutunya ketika hendak menangkap Jenderal Soedirman.

“sebenarnya jimat apa yang di pakai Mas Kyai ini sehingga selalu lolos dan tidak bisa ditangkap oleh penjajah Belanda dan PKI?”, tanya Soepardjo Roestam mewakili teman-temannya yang juga penasaran.

Dengan senyum kecil, Jenderal Soedirman menjawab, “Iya, aku menggunakan jimat, dan jimat yang pertama adalah saat berperang aku dalam kondisi berwudu. Jimatku yang kedua adalah selalu salat tepat pada waktunya, dan yang ketiga adalah aku mencintai rakyatku sepenuh hatiku”. Demikian kira-kira jawaban beliau.
Bukti bahwa Jenderal Soedirman teguh menjaga wudu antara lain adanya padasan pada petilasannya. Benda berbentuk gentong yang terbuat dari tanah liat tersebut digunakan sebagai wadah air yang menjadi perkakas untuk berwudu. Demikian terang M. Jazir saat menjadi pemateri Tablig Akbar di Masjid Jami’ Wedi, Klaten (31/5/2015).

Wudu dalam ajaran Islam menempati kedudukan yang sangat mendasar. Dalam berbagai kitab fikih pembahasan mengenai wudu lebih didahulukan daripada materi lain seperti salat, zakat, puasa, haji, maupun ibadah lainnya. Wudu menjadi sarana untuk mensucikan diri ketika hendak menghadap kepada Allah SWT Rabbul ‘Izzati. Di antara keutamaan menjaga wudu ialah dicirikan sebagai orang beriman,

اسْتَقِيمُوا ، وَلَنْ تُحْصُوا ، وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلاَةُ ، وَلاَ يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلاَّ مُؤْمِنٌ – رواه ابن ماجه

“Beristiqamahlah kalian dan sekali-kali kalian tidak akan mampu (melakukan seluruh amal). Ketahuilah, sesungguhnya amalan kalian yang paling baik adalah shalat. Tidak ada yang menjaga wudhu melainkan ia adalah seorang mukmin (yang sempurna).” (HR. Ibnu Majah)

Seseorang yang menjaga wudu, hakikatnya ia selalu siap menghadap Tuhannya, memposisikan diri agar selalu suci dalam segala keadaan, bahkan dalam perang gerilya sekalipun. Inilah lakon spiritual pertama Jenderal Soedirman yang patut diteladani. Apatah lagi seorang ‘alim, penuntut ilmu juga dosen yang mengajarkan ilmu, maupun pegawai/ karyawan yang bekerja di lingkungan penuh ilmu, maka sangat utama manakala berangkat ke kampus dalam keadaan suci, telah menunaikan wudu.

Kedua, sebagaimana disebutkan di atas, bahwa Jenderal Soedirman merupakan pribadi yang selalu mendirikan ibadah salat tepat waktu. Salat merupakan kewajiban fundamental dalam ajaran Islam, harus dikerjakan dalam keadaan apapun. Tentunya dengan adanya rukhsah atau keringanan (alternatif) dalam melaksanakannya.

Ibadah salat bagaikan tangga untuk naik pada derajat yang lebih tinggi bagi seorang mukmin. Bahkan salat yang baik juga menuntun seseorang, sehingga terhindar dari perbuatan keji dan munkar sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Ankabut: 45.

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ …

… Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Bahwa salat juga sebagai penguat iman (QS. Al-A’la: 14-15), ciri orang yang bertakwa (QS. Al-Baqarah: 2-3), sarana meraih ketenangan (QS. Ar-Ra’d: 28) dan pertolongan Tuhan (QS. Al-Baqarah: 153), mempercepat terkabulnya doa dan permohonan (QS. Ali Imran: 38-39. Salat juga menjadi amal pertama kali yang akan dihisab kelak (HR. Tirmidzi).

Terdapat satu kalimat yang menjadi suluh pengobar semangat bagi kaum muslimin kala itu, tepatnya dalam membendung dan melawan serangan penjajah tanah air, yakni hubbul wathan minal iman. Bahwa mencintai tanah air merupakan bagian dari keimanan. Bukti seseorang mencintai tanah air tidak semata-mata menjaga keutuhan wilayah, namun juga segala yang hidup di atasnya.
Imam An-Nawawi memasukkan salah satu hadis Nabi dalam kitabnya Arba’in An-Nawawi, bahwa tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri (HR. Bukhari-Muslim).

Dikisahkan pula, apabila Jenderal Soedirman bergerilya dan pada saat itu membawa bekal bahan makanan, maka beliau menyuruh pasukannya untuk terlebih dahulu memberikan perbekalan tersebut kepada warga. Memastikan agar rakyat tidak lapar merupakan bukti bahwa Jenderal Soedirman merupakan sosok pemimpin yang sangat mencintai rakyatnya.

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa point yang menjadi catatan utama dalam bahasan ini. Pertama berwudu, ia mengajarkan kita arti penting mengenai kesucian diri. Setelah itu salat, sebagai bentuk ikatan hubungan dengan Allah atau hablun minallāh. Kemudian mencintai rakyat, sebagai bentuk menjaga hubungan dengan sesama atau hablun minannās. Ketiga dimensi spiritual tersebut menjadi satu kepribadian yang tertanam kokoh dalam diri Jenderal Soedirman, semoga kita sebagai generasi penerus mampu meneladani sifat dan karakternya yang shalih dalam upaya menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Sumber bacaan:
1. https://www.annasindonesia.com/read/1136-inilah-3-jimat-jendral-sudirman-yang-jarang-diketahui-masyarakat
2. http://soedirman.pahlawan.perpusnas.go.id/public/article_listing/detail/81
3. https://www.merdeka.com/histori/soedirman-panglima-tni-dari-pemilihan-voting-76-tahun-tkr.html
4. https://www.mediamu.id/2021/04/24/tiga-lakon-spiritual-kh-ahmad-dahlan/