PUASA BUKAN SEKEDAR MENAHAN LAPAR DAN DAHAGA

Oleh Ahmad Muchlis

 

Bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh dengan keberkahan dan kebaikan. Sebagai seorang Muslim yang beriman, tentu kita sangat berharap dapat bertemu dengan bulan Ramadhan dan menjalankan berbagai aktivitas kebaikan pada bulan yang mulia ini.

Secara bahasa, kita mengetahui bersama bahwa puasa bermakna “menahan”. Sementara secara istilah, puasa dimaknai sebagai salah satu ibadah yang dijalankan dengan niat mendekatkan diri pada Allah swt, dengan menahan makan, minum, serta segala sesuatu yang berhubungan dengan syahwat atau hawa nafsu, yang dimulai sejak terbit fajar sadiq hingga terbenam matahari.

Namun yang sering menjadi pertanyaan dalam benak kita adalah, bahwa apa sebenarnya esensi dari “menahan” itu sendiri? Apakah sekedar menahan lapar dan dahaga saja? Apakah orang yang berpuasa hanya mendapat kesehatan badan dan berat timbangan yang turun saja? Bahkan tidak jarang, ada orang yang berpuasa namun ketika berpuasa, muncul nafsu yang menggebu-gebu untuk mengonsumsi segala jenis makanan dan minuman ketika berbuka puasa. Apakah demikian esensi puasa yang sebenarnya?

Kaum Muslimin yang dirahmati Allah swt

Para ulama telah menjelaskan secara rinci tentang seluk-beluk berpuasa yang diturunkan dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Secara umum, puasa memiliki tiga tingkatan, yaitu puasa biasa, puasa khusus, dan puasa sangat khusus. Puasa biasa dimaknai sebagai puasa yang dilakukan dengan menahan makan, minum, serta bersenggama saja. Artinya, pemaknaan puasa hanya terbatas pada aspek materiil semata, tanpa menyentuh aspek spiritual.

Puasa khusus dimaknai dengan menahan telinga, mata, lidah, tangan, kaki serta anggota badan lainnya dari berbuat maksiat. Tingkatan puasa jenis ini tentu lebih tinggi dibandingkan jenis puasa yang pertama.

Puasa sangat khusus. Puasa ini merupakan tingkatan puasa yang tertinggi, dan tidak semua orang sanggup untuk melaksanakan puasa ini. Puasa sangat khusus ini dimaknai sebagai puasa hati. Maknanya, menjaga hati dari kelalaian mengingat Allah swt.

Puasa biasa adalah puasa yang biasanya kita jalankan, yang takarannya adalah fikih. Jika syarat dan rukun puasa tersebut terpenuhi, maka puasa itu dianggap sah. Hal ini bukanlah kesalahan, karena memang demikianlah standarisasi yang ditetapkan ulama dalam mendefinisikan puasa, yang didasarkan pada keumuman manusia yang sering lalai dan mudah terperangkap dalam perkara duniawi.

Sementara puasa khusus dan sangat khusus hanya mampu dijalankan oleh orang shalih, auliya (para wali) dan para Nabi. Puasa khusus tidak hanya memperhatikan aspek fikih semata, melainkan pada aspek akhlak dan perilaku. Sementara puasa ketiga ditambahkan dengan aspek keistiqomahan dalam menjaga hati dan pikiran.

Puasa khusus dapat dilakukan setelah menjalani beberapa fase latihan yang sangat penting dalam mendekatkan diri kepada Allah. Karena untuk mampu melakukan puasa khusus diperlukan kemampuan untuk mengontrol dan menjaga hati, yang hanya bisa didapatkan melalui tazkiyatun nafs.

Menurut Imam al-Ghazali, berpuasa khusus harus memenuhi enam syarat, yaitu:

Pertama, puasa mata dari melihat hal-hal yang diharamkan. Termasuk memandang sesuatu yang dapat melalaikan kita dari mengingat Allah swt.

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30)

النَّظَرُ سَهْمٌ مَسْمُومٌ مِنْ سِهَامِ إبْلِيسَ فَمَنْ غَضَّ بَصَرَهُ عَنْ مَحَاسِنِ امْرَأَةٍ أَوْرَثَ اللَّهُ قَلْبَهُ نُورًا

“Pandangan adalah panah beracun dari panah-panah iblis, barang siapa yang meninggalkannya karena takut pada Allah maka Allah akan berikan ia keimanan yang ia rasakan manisnya di hatinya.” (HR. Al-Hakim)

Kedua, puasa lisan dari mengatakan sesuatu yang diharamkan, seperti ghibah, namimah (adu domba), berbohong, perkataan yang tidak berfaedah, dsb. Karena seyogyanya pada bulan Ramadhan, kita diperintahkan untuk memperbanyak tadarus, berdzikir, berkata hal yang baik, dan sebagainya.

Ketiga, puasa telinga dari mendengarkan sesuatu yang diharamkan. Segala hal yang diharamkan untuk diucapkan, itu juga yang diharamkan untuk didengar. Sebagaimana hadis di atas, bahwa Rasulullah saw melarang ghibah, maka konsekuensinya mendengarkan orang yang meng-ghibah pun juga dilarang.

Keempat, puasa anggota tubuh lainnya dari melakukan hal yang syubhat, terlebih hal yang haram. Seperti puasanya perut dari memakan sesuatu yang tidak jelas kehalalan dan keharamannya. Rasulullah Saw bersabda:

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إلَّا الْجُوعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إلَّا السَّهَرُ

“Berapa banyak orang yang berpuasa, tidak mendapat pahala puasa kecuali hanya lapar dan hausnya saja. Berapa banyak orang yang bangun malam, tidak mendapat pahala kecuali hanya bangun malamnya saja.” (HR. Al-Hakim, an-Nasai dan Ibnu Majah)

Kelima, menyedikitkan makan ketika berbuka. Maksud dan tujuan dari puasa adalah melemahkan kekuatan atau syahwat yang merupakan media syaithan untuk menjerumuskan manusia ke dalam dosa. Maka bagaimana syahwat itu akan reda atau tiada, jika ketika berbuka kita memilih “misi balas dendam”, yaitu makan sebanyak-banyaknya. Dan puasa secara kesehatan juga terbukti berfungsi dapat menormalkan proses pencernaan. Maka bagaimana tubuh akan sehat, jika jatah makan kita ketika puasa dengan tidak puasa itu sama? Tentu tidak akan ada bedanya bukan.

Keenam, hatinya merasakan perasaan yang bercampur aduk antara cemas dan harap (raja’), khauf (takut) setiap kali berbuka. Perasaan cemas ini muncul karena sebuah pertanyaan, “Apakah puasaku akan diterima oleh Allah sehingga aku termasuk hamba pilihan-Nya? Ataukah puasaku tertolak sehingga aku termasuk orang yang merugi dan mendapat murka-Nya? Lalu muncullah pengharapan, agar Allah berkenan menerima amal ibadah kita, terkhusus puasa.

Dikisahkan suatu ketika Hasan al-Bashri melewati sekelompok orang yang sedang tertawa-tawa. Lantas beliau berkata, “Sesungguhnya Allah azza wajalla menjadikan bulan Ramadhan sebagai ladang kenikmatan yang tertimbun untuk segenap makhluk-Nya. Mereka berlomba-lomba malakukan ketaatan di dalamnya, sebagian berada melesat di depan dan menang, sebagian lain tertinggal dan kalah. Maka sungguh aneh orang-orang yang sempat tertawa dan bermain-main di hari dimana orang yang melesat di depan menang dan orang yang tertinggal di belakang kalah nan merugi.”

Imam Ghozali melanjutkan, “Sungguh demi Allah, kalaulah tirai rahasia Allah dibukakan, tentulah orang yang mengerjakan kebaikan akan sibuk dengan kebaikannya dan orang yang mengerjakan keburukan akan sibuk dengan keburukannya. Adapun orang yang mengerjakan kebaikan ia akan berbahagia setengah mati menyaksikan amal baiknya diterima Allah sehingga tak terfikir untuk bermain-main, sedangkan orang yang mengerjakan keburukan ia akan bersedih hingga tak sempat lagi untuk tertawa!”

Inilah enam syarat puasa khusus menurut Imam al-Ghazali yang seyogyanya harus dilaksanakan oleh umat Islam ketika berpuasa. Hal ini supaya kita mampu menjalankan puasa yang khusus, yang banyak berlimpah kebaikan di dalamnya, tidak hanya mampu menjalankan puasa yang biasa, yaitu puasa yang hanya sekedar menahan lapar dan dahaga saja.