Debat Perdana Santri Persada Tahun Ajaran 2024–2025

Jum’at, 25 April 2025 — Suasana malam di PERSADA UAD tak seperti biasanya. Tepat pukul 18.30 WIB, dua titik lokasi—Amphiteater B Gedung Fakultas Kedokteran dan Musholla Amphiteater—dipenuhi gelombang antusiasme santri. Mereka bukan datang untuk duduk manis, melainkan berdiri tegak sebagai orator muda dalam Debat Perdana Santri Persada Tahun Ajaran 2024–2025.

Kegiatan ini menjadi bagian dari agenda wajib pekanan yang menjadi salah satu program kerja dari Bidang Bahasa, sebagai ruang pengembangan diri santri—terutama dalam kemampuan berpikir kritis, menyampaikan argumen secara logis, dan berbicara di depan publik dengan percaya diri.

Mosi debat malam itu cukup aktual dan relevan: “Fenomena Flexing di Media Sosial, Wajar atau Merusak Mental?”. Di tangan para santri, topik ini menjelma menjadi panggung argumentasi berbasis data dan kajian. Tak ada suara yang asal lantang, semuanya tersusun rapi dan penuh substansi.

Setiap kelompok pendebat memulai setelah menunaikan Sholat Maghrib berjama’ah di Asrama, dengan moderator membuka jalannya forum secara resmi. Suasana di dalam ruangan pun mencengangkan. Para santri tidak sekadar bicara—mereka tampil dengan data yang telah dikumpulkan jauh-jauh hari. Beberapa bahkan menyebutkan riset dari jurnal, kutipan tokoh, hingga hasil survei kecil-kecilan yang mereka lakukan secara mandiri.

“Flexing bisa menjadi inspirasi. Tapi ketika menjadi standar kebahagiaan, itulah awal dari krisis mental,” ujar salah satu santri dengan nada tegas namun tetap santun. Ucapannya segera ditanggapi kelompok lawan dengan argumen yang tak kalah meyakinkan, menciptakan alur debat yang hidup dan memikat.

Debat ini tidak berakhir begitu saja. Di akhir sesi, setiap kelompok mendapatkan evaluasi langsung dari pendamping asrama. Mereka tidak hanya menilai isi, tapi juga intonasi, struktur bahasa, serta etika dalam menyampaikan pendapat.

Kegiatan ini bukan hanya ajang berbicara, tetapi proses membentuk karakter santri yang berani, kritis, dan komunikatif. Melalui debat, santri belajar menyampaikan pikiran dengan bahasa yang baik dan benar, sekaligus membangun kepercayaan diri sebagai calon pemimpin masa depan.

“Debat seperti ini melatih para santri berpikir cepat dan berbicara terstruktur. Rasanya seperti sedang mempersiapkan diri menghadapi kehidupan nantinya” ungkap salah satu evaluator pada malam itu.

Dan dari ruangan itu, bukan hanya suara yang menggema—tetapi harapan, bahwa generasi santri akan tampil bukan hanya sebagai penjaga moral, tetapi juga sebagai pelopor pemikiran. (Arinal)