PERSADA UAD SELENGGARAKAN BA PURNA SANTRI, REKTOR MENJADI PEMATERI PERTAMA
Menjelang berakhirnya tahun ajaran 2023/2024, Persada UAD menyelenggarakan Baitul Arqam Purna Santri Persada UAD. Agenda ini berlangsung selama tiga hari, terhitung sejak hari Rabu, 4 Muharram 1446 H (bertepatan dengan tanggal 10 Juli 2024 M) hingga berakhir pada hari Jum’at, 6 Muharram 1446 H (12 Juli 2024 M yang bertempat di Gedung Amphiteather Lt. 7 Fakultas Kedokteran. Pada agenda Baitul Arqam ini keseluruhan pemateri dari pimpinan Universitas Ahmad Dahlan (UAD), yaitu mulai dari rektor hingga seluruh wakil rektor.
Baitul Arqam ini dibuka pada hari Rabu, 4 Muharram1446 H/10 Juli 2024 M oleh Mudir Pesantren Mahasiswa KH. Ahmad Dahlan (Persada) UAD, al-Ustadz H. Thonthowi, S.Ag.,M.Hum. dan dilanjutkan dengan penyampaian materi pertama oleh Rektor Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Prof. Dr. H. Muchlas, M.T., dengan tema “Dakwah Digital”.
Pada awal penyampaian materi, beliau menyampaikan bahwa alumni Persada itu harus menjadi insan kamil, pribadi yang utuh, yang akidahnya kuat, ibadahnya intensif, hubungan muamalah nya cair (baik), inklusif, networking-nya luas, berakhlak karimah, serta memiliki wawasan yang luas, terutama di era digital seperti saat ini.
28% masyarakat Indonesia itu dihuni oleh Generasi Z dan 26 % adalah generasi millenial. Gen Z sendiri adalah generasi yang lahir di lingkungan yang telah tersedia teknologi. Dalam berbagai kajian saintifik, Gen Z ini dikenal dengan digital native, atau generasi yang lahir pada masa merebaknya teknologi terbarukan. Salah satu ciri Gen Z ini adalah senantiasa terikat dengan media sosial, sehingga mayoritas Gen Z pasti memiliki akun media sosial dan aktif mempublikasikan konten keseharian.
Prof. Muchlas melanjutkan bahwa pada masa globalisasi ini, hampir seluruh aspek kehidupan berubah dari konvensional menjadi digital. Mulai dari memesan makanan, memesan taxi, membeli pakaian, membaca majalah atau koran hingga pada aspek religius dan pendidikan, seperti pengajian dan proses KBM (Kegiatan Belajar-Mengajar). Perubahan-perubahan tersebut mengindikasikan bahwa kita saat ini telah mengalami era digital disruption, yaitu era yang menggambarkan bagaimana teknologi digital itu mempengaruhi seluruh aspek kehidupan yang berimplikasi pada rusaknya habit atau kebiasaan hidup seseorang.
Untuk mengatasi dan menghadapi era digital disruption tersebut, menurut Prof. Muchlas, yang dapat dilakukan adalah dengan digital transformation, yaitu perubahan budaya dan operasionalisasi dari suatu organisasi, industri, atau ekosistem melalui integrasi cerdas dari teknologi digital, proses dan kompetensi di semua tingkatan dan fungsi secara bertahap dan strategis.
Terdapat lima level dalam transformasi digital, yaitu digital resister (memilki suatu teknologi berdasarkan ikut-ikutan saja), digital explorer (mengindentifikasi kebutuhan, tidak serta-merta ingin beli atau memiliki), digital player, digital transformer (teknologi yang dapat bermanfaat bagi orang lain) dan digital disruptor (mampu menggunakan teknologi untuk mempengaruhi orang lain, seperti influencer). Dari kelima level tersebut, tentu peran paling utama yang dapat dilakukan adalah menjadi digital disrupter, di mana seseorang secara agresif dapat mendayagunakan teknologi digital untuk menguasai audience.
Dalam bidang dakwah, pengaruh disrupsi digital ini di satu sisi tentu terdapat tantangan dakwah yang semakin berat, namun di sisi yang lain terdapat peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan.
Sementara itu, menurut beliau terdapat beberapa tantangan yang cukup berat yang berasal dari disrupsi digital ini, yaitu kualitas literasi digital yang belum mumpuni. Memang banyak khalayak yang memiliki teknologi digital, mampu mengoperasikannya, namun tidak semua orang mampu untuk menguasai literasi digital ini, sehingga hal ini menjadi urgen untuk dikuasai untuk dapat menjawab era disrupsi digital ini.
Selain literasi digital, hal lain yang tidak kalah penting adalah adanya digital culture, yaitu seseorang dituntut untuk dapat memiliki kebiasaan digital. Dan yang terakhir adalah digital moral. Artinya seseorang tidak hanya dituntut terampil dan memiliki habit atau budaya digital, tetapi juga memiliki etika digital yang baik. Hal ini dapat diketahui melalui salah satu literatur yang diterbitkan oleh Muhammadiyah yang terkait dengan etika dalam bermedia sosial, yaitu Fikih Informasi.
Prof. Muchlas juga mengingatkan adanya tantangan lain yang mengancam, yaitu adanya era post truth, munculnya Artificial Intelligence dan hoaks.
Era the death of expertise atau matinya kepakaran, yaitu era yang muncul sebagai jawaban atas munculnya era post truth, yaitu era di mana kebenaran itu tidak didasarkan pada fakta ilmiah, melainkan berdasarkan tren yang sedang muncul dan banyak dikagumi oleh khalayak ramai. Sehingga dapat dikatakan bahwa otoritas ilmu pengetahuan yang seharusnya dimiliki oleh para ilmuwan dan ulama, digantikan oleh sosial media dan AI (Artificial Intelligence). Dan yang paling berbahaya dari era post-truh ini adalah ketika menyentuh segmen dakwah, yaitu kebenaran yang didasarkan pada tren sosial media. Oleh karena itu, ketika tiga tantangan ini muncul, maka daya rusaknya akan sangat tinggi dan sangat mengancam segmen dakwah.
Terakhir, Prof. Muchlas mengatakan, “Maka Pak Thonthowi, nanti kita bisa bekerja sama antara Majelis Pustaka dan Informasi dengan Majelis Tarjih dan Tajdid untuk mengembangkan Chat HPT. Hari ini kan sudah ada Chat GPT, maka Muhammadiyah punya Chat HPT.”